Eh, ini esai ngoceh bau gue waktu kuliah Kewarganegaraan setahun lalu~
Sekarang ini kita berada di jaman yang serba canggih dan serba sibuk. Segalanya ada pada waktu yang kita biasa sebut dengan era globalisasi ini. Suatu era ketika segala ilmu pengetahuan serta teknologi berkembang dengan pesatnya. Globalisasi, suka atau tidak suka, merupakan keharusan bagi Indonesia untuk terlibat aktif dalam pergaulan internasional. Namun untuk meminimalkan akses negatif globalisasi, bangsa Indonesia secara konsepsional-kultural tidak mempunyai Iandasan yang kukuh yang dapat dijadikan tameng untuk melindungi rakyatnya serta kepentingan-kepentingan nasional di bidang budaya, ekonomi, dan politik.
Era globalisasi membawa banyak perubahan di hampir segala bidang di Indonesia. Ada perubahan yang positif dan bermanfaat bagi masyarakat, tapi tampaknya ada juga yang negatif dan pada gilirannya akan merugikan bagi keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suasana keterbukaan pasca pemerintahan Orde Baru menyebabkan arus informasi dari segala penjuru dunia seolah tidak terbendung.
Budaya global yang menawarkan kemajuan, kemudahan, kenyamanan, serta gengsi yang dianggap lebih, dengan cepat diadopsi menjadi dambaan baru masyarakat. Terjadi lompatan orientasi masyarakat dari orientasi harmoni ke orientasi materi. Lompatan yang tidak dipersiapkan serta dalam waktu yang relatif singkat tersebut menimbulkan akibat yang tidak sedikit.
Salah satu dampak buruk dari globalisasi adalah memudarnya semangat nasionalisme dan kecintaan pada negara. Perbedaan pendapat antar golongan atau ketidaksetujuan dengan kebijakan pemerintah adalah suatu hal yang wajar dalam suatu sistem politik yang demokratis. Namun berbagai tindakan anarkis, konflik SARA dan separatisme yang sering terjadi dengan mengatas namakan demokrasi menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa. Di jaman yang serba ada ini, setiap orang memiliki kesibukkan dan menyibukkan dirinya masing-masing. Mereka membangun komunitas dan kehidupan sosial yang sesuai dengan status, kedudukan, jabatan, dan “level” mereka di tengah-tengah masyarakat. Berbagai macam alasan ada demi membentuk “kepribadian” modern. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama. Semangat untuk membela negara seolah telah memudar. Bila direnungkan, keengganan masyarakat kita sekarang untuk memaknai sejarah perjuangan pergerakan bangsa Iebih dikarenakan ketidakmampuan dalam menangkap pesan-pesan moral dari pendahulu kita.
Terjadinya guncangan budaya (cultural shock) menjadi tak terhindarkan. Dengan budaya nrimo dan memasrahkan jiwa raga pada pemimpin, masyarakat tak terlatih memperjuangkan kepentingan sendiri yang bersifat materi.
Sekarang tiba-tiba materi menjadi dambaan baru, seolah-olah merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Tanpa tersadari bangsa ini bergeser dari bangsa idealistis menjadi bangsa materialistis.
Simbol-simbol materi memang menjadi dambaan baru masyarakat yang selama ini cenderung pasrah dan tidak siap bekerja keras untuk mendapatkan materi dengan cara semestinya. Berbagai kalangan masyarakat mulai berlomba mengakumulasi simbol-simbol keberhasilan materi dengan berbagai macam cara. Jalan pintas menjadi pilihan yang biasa.
Bangsa dijajah oleh penjajah model baru. Ini berformat pada gempuran model ekonomi dan atau budaya serta format lainnya yang berfundamental baratisme dan westernisasi. Padahal pemaksaan daripada kebudayaan asing yang diterapkan terhadap kebudayaan timur, sangatlah tidak relevan dan akan mengakibatkan kesenjangan-kesenjangan yang berakibat pada berkurang dan hilangnya tatanan sosial. Basis orientasi ekonomi adalah profit dan sangat jarang mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih pada sisi environmental. Tentu perlu adanya sebuah desakan agar orientasi ekonomi dipadukan dengan moralitas ketimuran. Karena tidak akan sejalan dengan kedaan jikalau pemaksaan tersebut terus menerus dilakukan tanpa adanya monitoring yang baik dari seluruh elemen bangsa.
Ketidaksiapan budaya bangsa dalam menghadapi tantangan global harus ditebus dengan harga yang mahal. Banyak sekali pengorbanan yang harus dilakukan atas ketidaksiapan itu seperti hilangnya semangat kebangsaan, tidak tegaknya hukum, moralitas yang rusak, hingga lemahnya daya saing bangsa.
Ketidakpedulian tersebut, pada dasarnya berhubungan dengan pendidikan. Dan ini menunjukkan, arti kemerdekaan yang seharusnya menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia merdeka, tidak terlaksana. Dengan kata lain, pendidikan bagi manusia Indonesia belum berhasil menjadikan manusia Indonesia menjadi insan yang peka tehadap bangsanya sendiri. Lebih lanjut, pendidikan hanya melayani penguasa, anak didik diplot (dikondisikan) menjadi generasi yang tunduk terhadap negara. Sehingga, tidak terkejut nantinya, apabila banyak yang cuek, tidak kritis terhadap perkembangan negara ini.
Selama ini karena ketidakpedulian kita terhadap kebudayaan yang dimiliki, membuat kekayaan itu hanya menjadi harta karun yang terpendam. Kita tidak pernah mencoba menggali menjadi sebuah pengetahuan, apalagi mengangkatnya menjadi sesuatu yang mempunyai nilai tambah.
Begitu banyak kekayaan budaya dari bangsa ini dibiarkan punah. Di Kalimantan misalnya, rumah panjang itu satu per satu hilang, sehingga bukan mustahil generasi mendatang lupa akan akar sejarah mereka. Padahal bukan saja kebudayaan merupakan sebuah harta berharga yang telah diwariskan kepada kita, namun juga merupakan kebanggan dan sebuah ciri khas terhadap bangsa kita, bangsa Indonesia.
Hal ini diperparah dengan tidak hanya kita melupakan budaya kita, namun juga dengan dicurinya budaya kita dan diakui bagian dari bangsa lain. Seperti yang telah disinggung bahwa kebudayaan merupakan harta bagi suatu bangsa, jika kebudayaan kita dicuri dan diakui sebagai hak milik dari bangsa lain itu berarti harga diri kita telah diijak-injak dan bangsa kita telah dilecehkan oleh bangsa lain! Apakah kita telah menyadari akan pentingnya kebudayaan kita dan akan betapa buruknya kondisi bangsa kita akan kepeduliannya membela dan mempertahankan apa yang menjadi hak miliknya?
Entah sudah berapa banyak produk budaya dan kesenian negeri ini yang diklaim oleh negara lain, terutama Malaysia. Sebut saja Reog Ponorogo, kain batik, angklung, rendang, Rasa Sayange, hingga terakhir, Tari Pendet yang jelas-jelas milik rakyat Bali. Untungnya baru saja Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Chanel.
Mengingat dari sejarah kebudayaan kita ini sebagai pewaris langsung dari mereka, apakah kita harus merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya TIDAK! Kita harus berani memeriksa diri secara cermat, kita harus berani keluar dari zona nyaman kita, kita harus banyak belajar dan mengaplikasikan apa yang kita pelajari tersebut. Apa kekurangan-kekurangan kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk berbuat yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?
Kasus Tari Pendet dari Bali tersebut membuat kita tersentak, beragam komentar tentang hal itu, Tari Pendet ini menambah artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain.
Berikut adalah sedikit daftar kebudayaan-kebudayaan kita yang telah berhasil dicuri oleh bangsa lain :
1. Batik dari Jawa oleh Adidas
2. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
3. Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
4. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
5. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
6. Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia
7. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
8. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
9. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
10. Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing
11. Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
12. Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
13. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
14. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
15. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
16. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
17. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
18. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
19. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
20. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika
24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
29. Kain Ulos oleh Malaysia
30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia
31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia
32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia
Hal ini seharusnya bisa menjadi “tamparan” bagi bangsa kita sebagai bangsa yang kaya akan budaya selekasnya menyadari urgensi dan bahaya negeri kita akan makin menipisnya kesadaran yang mengakibatkan semakin terkurasnya kekayaan kita oleh bangsa-bangsa lain.
Menurut saya, hal ini sebenarnya bisa “dimaklumi” mengingat penduduk Malaysia dulunya adalah orang Indonesia yang kemudian terpisahkan karena imperialisme. Jadi “wajar” bila budaya Indonesia diamalkan di Malaysia dan diturunkan ke generasi mereka selanjutnya. Yang jadi masalah adalah ketika budaya tersebut tidak di-acknowledge dengan jelas sebagai budaya milik Indonesia. Kedua, budaya tersebut dimanfaatkan hanya untuk kepentingan intern Malaysia. Ini tentu tidak bisa dibenarkan.
Dilihat dari sejarahnya, selepas masa Soekarno, hubungan Indonesia-Malaysia sebenarnya relatif mesra. Malaysia juga sangat menyadari bahwa mereka membutuhkan Indonesia. Namun sejak Mahathir Mohamad mencanangkan slogan “Malaysia boleh“, orang-orang Malaysia kemudian menjadi lebih eksklusif dan tidak mau lagi “disamakan” sebagai rumpun Melayu/Indonesia. Satu-dua kasus, orang-orang Indonesia di Malaysia pernah membuat masalah, namun hal ini terlalu dibesar-besarkan. Akibatnya, orang Indonesia kemudian dicap inferior, sampai muncul istilah ejekan “indon“.
Media juga sebenarnya berperan dalam membuat urusan bertetangga ini menjadi kian memanas. Tengok kasus pulau Sipadan-Ligitan. Walaupun dalam sengketa, berdasarkan Undang-undang, kedua pulau itu bukan milik Indonesia—-kendati Indonesia akan diuntungkan seandainya kedua pulau tersebut jatuh ke tangan Indonesia. Namun yang terjadi, media menulis seolah-olah kedua pulau tersebut hilang dari genggaman kita. Tentu saja hal ini menimbulkan persepsi yang berbeda di masyarakat.
Apapun itu, harusnya kasus semacam ini bisa menjadi peringatan. Bangsa ini sepertinya kurang bersyukur. Sudah diberi Tuhan 17 ribu pulau lebih, namun sampai sekarang masih banyak yang belum dinamai. Kita punya begitu banyak kesenian dan tarian yang mempesona, namun tak banyak dari kita yang mau mempelajari dan melestarikan. Papan-papan penunjuk jalan di Jogja banyak yang dituliskan dalam aksara Jawa, tapi berapa banyak anak muda sekarang yang bisa membaca “hanacaraka” itu?
Pemerintah sudah tentu harus bertindak cepat, tegas, namun juga smart. Berbagai produk kesenian dan budaya kita musti didata dan didaftarkan hak miliknya agar tak perlu lagi kecolongan di kemudian hari. Kedua, kita juga tidak boleh kalah dalam memasarkan Indonesia di luar negeri. Harapannya, tentu saja agar orang asing lebih “nyantol” dengan tarian, masakan, maupun produk budaya kita lainnya. Kalau tarian ini, atau kesenian itu, sudah dikenal orang asing, maka sulit bagi bangsa lain untuk mengklaim budaya tersebut sebagai miliknya. Pemerintah juga tidak boleh merasa inferior, karena sesungguhnya bukan kita yang membutuhkan bangsa lain melainkan bangsa lain yang membutuhkan Indonesia.
Untungnya, kasus-kasus pencurian budaya semacam ini juga memberikan blessing in disguise buat kita. Sejak batik diklaim negara sebelah, sekarang banyak instansi yang mewajibkan penggunaan seragam batik di hari-hari tertentu. Anak muda pun tak lagi canggung mengenakan batik karena desain dan motifnya terus berkembang menyesuaikan jaman. Teman-teman di luar negeri pun kian bersemangat dalam mempromosikan budaya Indonesia kepada orang asing. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya cuek dengan budaya Indonesia, kini menjadi lebih peduli terhadap nasionalisme dan identitas bangsa ini.
Sebagai warga negara yang baik, harusnya kebudayaan itu harus diperkenalkan sejak kecil. Dari situ pasti akan tumbuh rasa cinta terhadap Indonesia.
Saya sendiri berharap agar pemerintah dan seluruh rakyat lebih peduli pada budayanya sendiri. Pasalnya, ketidakpedulian itulah yang menurutnya membuat negara lain bisa dengan mudahnya mengklaim kebudayaan Indonesia.
Ternyata bukan budaya saja, pulaunya pun banyak yang dijual. Hal itu membuat kita merasa dibohongin. Seharusnya pemerintah bisa mematenkan kebudayaan. Entah mengapa budaya kita yang dipatenkan ke UNESCO masih sedikit.
Kekayaan alam, seni budaya, dan peninggalan sejarah yang ada hampir tidak pernah dipromosikan, baik di dalam negeri, apalagi hingga keluar negeri. Tidak heran kalau sebagian besar anak bangsa ini belum mengenal keindahan negerinya sendiri. Di tengah gencarnya promosi pariwisata negara tetangga, bahkan berani mengklaim kekayaan seni budaya bangsa ini, seharusnya mampu menyadarkan bahwa bangsa ini bisa bangkit melalui pengelolaan negara yang lebih baik.
Salah satunya adalah pengelolaan kekayaan potensi wisata yang dimiliki setiap provinsi yang ada di Indonesia. Seharusnya cerita ketidakpedulian pemerintah ataupun pemerintah daerah dalam mengurus situs sejarah, apalagi rakyat negeri ini, sudah bisa menjadi sejarah atau cerita usang pada masa lalu.
Padahal, bangsa yang besar harusnya bisa melihat ke depan dengan bekal pelajaran jatuh bangun perjalanannya pada masa lalu untuk membangun bangsa. Kebesaran masa lalu bangsa ini yang jejaknya tersebar di banyak tempat sejak zaman batu seharusnya mampu menyadarkan anak bangsa ini bahwa Indonesia merupakan bangsa besar yang tidak pantas terpuruk.
Saya sendiri bangga dan bahagia menjadi bangsa Indonesia. Negeri ini memang masih jauh dari ideal. Namun perjalanan bangsa ini sudah menorehkan sejarah panjang. Kita memperjuangkan sendiri kemerdekaan kita. Beragam suku dan golongan berhasil disatukan dengan susah payah. Seperti kata Hillary Clinton, Indonesia adalah model dunia masa depan, dimana demokrasi, modernitas, dan Islam berada dalam satu wadah yang harmonis.
Kita memang masih berkutat soal korupsi, pengangguran, kemiskinan, dan keamanan. Tapi negeri ini punya potensi untuk menjadi besar dan superpower di masa depan. Dan banyak bangsa yang iri denggan potensi yang kita punya.
Sebagai catatan dan renungan akhir, jangan sampai kasus semacam ini justru menjadi maling teriak maling. Kita mengeluh negara lain membajak kekayaan negeri ini. Sementara di sisi lain kita lupa bahwa pembajakan di negeri ini sebenarnya masih cukup tinggi. Jangankan produk software atau musik luar negeri, karya bangsa sendiri saja masih sering dibajak. Bukankah itu juga sesuatu yang cukup memalukan? Ingat bahwa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat dan berwibawa.
0 komentar:
Posting Komentar